Mengenal Cara Kerja Induksi Ovulasi dalam Program Hamil

cara kerja induksi ovulasi

Mengenal Cara Kerja Induksi Ovulasi dalam Program Hamil

Cara kerja induksi ovulasi adalah merangsang pelepasan sel telur dari ovarium pada wanita dengan masalah ovulasi atau siklus menstruasi tidak teratur. Tujuan prosedur ini meningkatkan peluang kehamilan dengan merangsang pertumbuhan sel telur yang matang. 

Bagi banyak pasangan yang mengalami kesulitan dalam memiliki momongan, proses induksi ovulasi menjadi sebuah langkah penting dalam upaya mencapai kehamilan. Induksi ovulasi adalah suatu metode yang digunakan untuk merangsang ovarium agar melepaskan sel telur secara teratur dengan harapan meningkatkan program hamil alami. Namun, sebelum memasuki program induksi ovulasi, penting untuk memahami dengan jelas bagaimana prosedur ini bekerja, potensi risikonya, serta pertimbangan lain yang perlu dipertimbangkan. 

Apa Itu Induksi Ovulasi?

Induksi ovulasi adalah proses medis yang bertujuan untuk merangsang pelepasan sel telur dari ovarium pada wanita yang mengalami masalah ovulasi atau memiliki siklus menstruasi tidak teratur. Menurut Institut Kesehatan Nasional, 25 hingga 30 persen dari wanita yang mengalami infertilitas memiliki masalah dengan ovulasi.

Ovulasi normal terjadi ketika ovarium melepaskan sel telur yang matang sebagai persiapan untuk dibuahi. Ovulasi normal terjadi sekitar sekali setiap 28 hari selama siklus menstruasi seorang wanita. Rentang waktu 21 hingga 35 hari dianggap wajar dan mencerminkan ovulasi normal. Jika pembuahan tidak terjadi, sel telur yang matang dan jaringan tambahan lainnya diuraikan serta dibersihkan dari rahim secara alami.

Ciri-ciri ovulasi pada wanita biasanya meliputi peningkatan lendir serviks yang menjadi lebih jernih dan licin, mirip dengan putih telur, serta peningkatan suhu basal tubuh. Beberapa wanita juga mengalami nyeri ringan di bagian perut bawah, dikenal sebagai “mittelschmerz”.

Selain itu, dorongan seksual mungkin meningkat. Sedangkan tanda ovulasi berakhir adalah lendir serviks yang kembali mengental dan menurun jumlahnya, serta stabilnya suhu basal tubuh yang lebih tinggi setelah ovulasi terjadi.

Baca juga: Tanda Ovulasi Berhasil Dibuahi dan Terjadi Kehamilan

Tujuan Induksi Ovulasi

Tujuan utama dari prosedur induksi ini adalah untuk meningkatkan peluang kehamilan dengan memperbaiki atau mengatur kembali siklus ovulasi yang tidak teratur. Prosedur ini melibatkan penggunaan obat-obatan atau hormon tertentu untuk merangsang pertumbuhan folikel (kantung telur) dalam ovarium dan memicu pelepasan sel telur yang matang.

Ovulasi tidak teratur adalah ketika pelepasan sel telur terjadi kurang dari sekali setiap 35 hari. Masalah ovulasi ini dapat memengaruhi kesuburan dengan menghilangkan potensial ketersediaan sel telur untuk proses pembuahan.

Induksi ovulasi sering direkomendasikan untuk pasangan yang mengalami kesulitan hamil karena masalah ovulasi, seperti sindrom ovarium polikistik (PCOS) atau gangguan ovulasi lainnya. 

Selain itu, induksi ovulasi juga dapat bermanfaat dalam prosedur fertilisasi in vitro (IVF) untuk mengontrol dan memantau produksi telur dalam siklus reproduksi yang terkontrol.

Proses ini memerlukan pemantauan yang cermat oleh dokter spesialis reproduksi, termasuk serangkaian tes hormon dan pemantauan ultrasonografi untuk memastikan bahwa ovarium bereaksi dengan baik terhadap pengobatan dan untuk menentukan waktu yang tepat untuk pelepasan sel telur. 

Meskipun induksi ovulasi bisa meningkatkan peluang kehamilan, ada risiko yang terkait dengan penggunaan obat-obatan hormonal, seperti hiperstimulasi ovarium (OHSS) atau kemungkinan kehamilan ganda karena pelepasan beberapa sel telur. 

Oleh karena itu, penting untuk melakukan prosedur ini di bawah pengawasan medis yang ketat dan memahami baik manfaat dan risikonya sebelum memutuskan untuk menjalani induksi ovulasi.

Baca Juga: Berhubungan Saat Ovulasi Pasti Hamil, Fakta atau Mitos?

Cara Kerja Induksi Ovulasi

Pada prosedur induksi ovulasi, terapi dilakukan melalui pemberian obat atau suntikan hormon. Dokter biasanya memberikan obat ini kepada pasien pada awal siklus menstruasi. Setelah itu, ovarium akan dipantau oleh dokter untuk melihat respons terhadap pengobatan tersebut menggunakan ultrasonografi. 

Dokter akan memberi informasi tentang waktu yang tepat bagi pasien untuk melakukan hubungan seksual dengan pasangannya. Beberapa penelitian menyatakan bahwa melakukan hubungan seksual secara teratur dapat merangsang ovulasi. Dengan demikian, pengobatan dan hubungan seks yang teratur dapat meningkatkan kemungkinan tanda ovulasi berhasil. 

Obat-Obatan yang Dipakai untuk Induksi Ovulasi

Obat-obatan dan dosis untuk menginduksi ovulasi disesuaikan pada setiap pasien. Dokter Anda akan memberikan saran kapan Anda harus memulai pengobatan untuk merangsang ovarium.

Obat kesuburan yang mungkin perlu Anda konsumsi untuk menginduksi ovulasi termasuk:

1. Clomiphene Citrate (Clomid) 

Clomiphene Citrate (Clomid) adalah salah satu obat yang sering digunakan dalam proses induksi ovulasi. Obat ini bekerja dengan memblokir reseptor estrogen dalam tubuh. Ketika estrogen terhambat, kelenjar pituitari di otak akan merespons dengan meningkatkan produksi hormon folikel stimulasi (FSH). Hormon FSH ini kemudian merangsang ovarium untuk memproduksi lebih banyak folikel atau kantung telur. 

Setiap folikel berisi sel telur yang matang dan saat folikel paling matang atau dominan dipilih, tubuh akan merespons dengan melepaskan sel telur tersebut dalam proses yang disebut ovulasi. Clomid umumnya diresepkan dalam bentuk pil dan diminum secara oral. Biasanya, penggunaan obat ini dimulai pada awal siklus menstruasi, terutama antara hari ketiga dan ketujuh. 

Dokter akan memantau perkembangan folikel ovarium dengan menggunakan ultrasonografi. Setelah folikel yang diinginkan mencapai ukuran sekitar 18 hingga 20 milimeter, dokter dapat memberikan instruksi untuk waktu yang tepat melakukan hubungan seksual guna memaksimalkan peluang kehamilan. 

Perlu diingat, clomid dapat memiliki efek samping ringan, seperti hot flashes, pusing, atau perubahan suasana hati. Namun, efek samping ini biasanya bersifat sementara dan tidak serius. 

2. Letrozole

Letrozole yang dikenal dengan nama dagang Femara merupakan obat oral yang digunakan dalam proses induksi ovulasi. Cara kerjanya berbeda dari Clomid, obat lain yang sering digunakan untuk tujuan serupa. 

Letrozole bekerja dengan menghambat produksi estrogen, hormon yang berperan dalam mengendalikan siklus menstruasi dan ovulasi. Dengan mengurangi kadar estrogen, Letrozole merangsang tubuh untuk memproduksi lebih banyak hormon folikel-stimulasi (FSH), yang berperan penting dalam proses ovulasi.

Salah satu keunggulan Letrozole adalah efektivitasnya dalam merangsang ovulasi pada pasien dengan sindrom ovarium polikistik (PCOS), kondisi di mana tubuh menghasilkan terlalu banyak hormon luteinizing (LH) yang dapat mengganggu ovulasi. 

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa Letrozole lebih efektif daripada Clomid dalam memicu ovulasi pada pasien dengan PCOS, membuatnya menjadi pilihan pertama dalam banyak kasus.

Selain itu, Letrozole juga memiliki sedikit efek samping dibandingkan dengan Clomid, yang sering dikaitkan dengan efek samping seperti gangguan penglihatan, perubahan suasana hati, dan gejala menopouse sementara. Namun, seperti semua obat-obatan, Letrozole juga memiliki potensi risiko efek samping, termasuk sakit kepala, nyeri sendi, dan gejala menopouse ringan.

Baca juga: Mengenal Proses Fertilisasi dan Kehamilan

3. Gonadotropins (Menopur, Gonal-F, Follistim) 

Gonadotropin adalah kelompok obat yang umumnya disuntikkan dan terdiri dari hormon folikel-stimulasi (FSH), atau kombinasi FSH dan hormon luteinizing (LH). Obat-obatan ini digunakan dalam induksi ovulasi ketika penggunaan obat oral seperti Clomid atau letrozole tidak berhasil.

Penggunaan gonadotropin disebut-sebut lebih efektif dalam merangsang ovarium untuk menghasilkan lebih banyak folikel dan telur. Hal ini membuatnya menjadi pilihan tepat untuk pasien yang tidak merespons terhadap terapi oral atau membutuhkan lebih banyak telur untuk meningkatkan peluang kehamilan.

Namun, penggunaan gonadotropin juga memiliki risiko dan komplikasi tertentu. Karena obat ini lebih kuat, ada kemungkinan terjadinya sindrom hiperstimulasi ovarium (OHSS), di mana ovarium membesar dan memenuhi cairan. OHSS dapat menyebabkan gejala seperti kembung, nyeri perut, dan bahkan masalah pernapasan yang serius. Oleh karena itu, pemantauan yang ketat oleh dokter sangat penting selama penggunaan gonadotropin untuk meminimalkan risiko ini.

Selain itu, pemantauan secara teratur dengan ultrasonografi dan pengukuran kadar hormon dalam darah diperlukan untuk memantau respons ovarium terhadap pengobatan. Ini membantu dokter dalam menentukan dosis yang tepat dari gonadotropin yang diperlukan untuk merangsang pertumbuhan folikel ovarium dengan aman dan efektif.

Jika Anda memiliki pertanyaan lebih lanjut tentang program bayi tabung atau berencana untuk memulai perjalanan Anda dalam mencapai kehamilan dengan bantuan teknologi reproduksi, jangan ragu untuk menghubungi Ciputra IVF. 

Tim ahli kami siap memberikan informasi, dukungan, dan bimbingan yang Anda butuhkan sepanjang proses. Kami berkomitmen untuk membantu mencapai impian keluarga Anda dengan perawatan berkualitas dan penuh perhatian.

Telah direview oleh dr. Adrian Setiawan, Sp.OG

Source:

Tim Konten Medis
Terakhir diperbarui pada 29 Oktober, 2024
Dipublikasikan 29 Oktober, 2024